Minggu, 28 Februari 2010

Rabu, 27 Januari 2010

"keretaku tak berhenti lama". Biennale Jogja X, Jogja jamming, (Publik on the move)





SEDANG APA KAU GATHOTKACA DI SURGA….?

Tentu saja saya tidak sedang ingin ngelantur di zaman serba Derrida ini selalu disangkal untuk kemudian dilecehkan beramai-ramai. Namun, terkait dengan proses kreatif , agaknya perlu disimak satu fakta berikut. Di salah satu rumah sakit jiwa di DIY yang sekaligus tempat relokasi untuk gelandangan psikotik (gendheng) yang homeless, hopeless, topless, dan sebagainya. Jangan bayangkan tempat itu sesuai dengan standar panti rehabilitasi. salah satu penghuni yang mengidap delusi akut --merasa dirinya selalu berada di dalam pesawat yang sedang bergoncang-- ditanya oleh dokter,

"kata Petugas di sini cerita kamu suka melukis ya?"
"Ya," jawab pasien itu, dengan gestur masih merasa dirinya di dalam pesawat.
"Oh ya, di mana kamu melukis? Kenapa?"
"itu (tanganya menunjuk tembok).. Hidup saya penuh liku-liku, bahkan teman saya Gathotkaca pun bunuh diri Bu Dokter…" jawabnya sambil trus melukis..

ORA MUNG MIKUL DHUWUR LAN MENDEM JERO, NING YO MABUR DHUWUR BEN KETEMU GATHOTKOCO, SAIKI WIS MATI YO MUGO MUGO URIP MULYO NENG SURGO….

Pengunjung di sana spontan terbahak-bahak. Bu Dokter dan para petugas yang ada di ruang pengobatan itu juga terpingkal-pingkal mengamati coretan si pasien., sedangkan pasien tersebut --yang kemudian diketahui paling jarang mengerang, mengamuk tanpa sebab jelas ala orang gila-- diam menatap tajam semua yang ada di ruangan itu.

KALAU BENAR TEMANMU GATHOTKACA ITU BISA TERBANG KENAPA KAU TAK MINTA DI JEMPUT …..?

Kata bu dokter sambil terus tersenyum, dan kembali semua orang tertawa…Si pasien tambah marah dan teriak teriak kalian semua gila….

Mendadak saya sadar, jangan-jangan saya sedang menertawai diri saya sendiri; dan semua orang yang tertawa di ruang itu juga sedang menertawakan saya, atau bahkan semua orang yang penasaran dengan karya pasien tersebut, saya mendatangi ruang tempat pasien itu biasa menghabiskan hari-harinya dalam ketakutan "pesawat yang berguncang" seperti yang selalu dikatakannya. Hati saya tergetar melihat banyaknya coretan pada dinding kamarnya. Gambar dan tulisan pasien tersebut cukup beragam, mulai dari ungkapan kerinduan pada istri dan anaknya, hingga pada permintaan maaf pada tuhan dan orang tuanya. Namun sesuatu yang menarik adalah bagaimana "pandangan dunia" pasien tersebut. ...kesadaran bahwa dia terikat ( fisik,psikis) tetapi dalam imajinasinya bahwa dia sebenarnya bebas dan merdeka.

Kita bebas berpikiran atau berkomentar apa saja dari fakta tersebut. Tetapi, bagi saya, fakta itu dapat dimaknai bahwa kejadian itu pada dasarnya adalah sebuah ekspresi sekaligus juga identitas pelaku dalam mengambil jarak dengan kenyataan. Dalam ekspresi terkandung kebebasan atau sekurang-kurangnya keinginan dan upaya untuk terbebas dari segala belenggu keterbatasan..

Pasien psikotik yang juga pelukis ( bisa melukis) tersebut merepresentasikan bahwa siapa pun orangnya, ternyata, sadar akan ruang. Dengan coretan tersebut, pasien itu seolah tidak hanya ingin protes alias gampang mengerang atau histeris karena berang pada kenyataan yang memang tidak selalu sedap dipandang, tanpa adanya suatu proses permenungan yang melibatkan nalar estetik-kreatif lebih dulu. Keterbatasannya akan bahasa, mungkin juga mental dan tingkat intelektualnya, tidak berimplikasi pada niatnya untuk melukis. Ia juga tidak menunggu seseorang pelukis terkenal untuk datang memberi tips-tips agar karyanya menjadi lukisan yang "baik dan benar". Ia hanya berkarya tanpa tendensi apa pun selain dirinya dan coretan itu sendiri.
.

SEDANG APA KAU GATHOTKACA DI SURGA….?

“Rasa sehat, bagas, waras adalah kunci seperti dongeng Gatotkaca..( Duh anakku, Ototmu kawat balungmu wesi)… kata Bima bangga pada Gathotkaca suatu hari. Sebuah Doa dan harapan yang baik, tetapi kenapa pelukis di RSJ tersebut ingin ketemu dengan Gatot kaca di surga ? ” Bukankah jagoan ini paling tangguh dan muskhil mati……..?

Semakin saya simak, pikiran saya semakin melayang. Jangan-jangan, kita hanyalah satu dari yang bangga merasa menjadi yang terhebat, terpandai, tergagah, tercantik, dan paling jagoan diantara sesama di jaman serba kompetitif saat ini. Sebagai manusia yang terlahir dalam era modern kita terlalu mempersiapkan diri ( budaya). Pilih-pilih sekolah, les privat, les bahasa Inggris, nyanyi, ikut kegiatan remaja idola, dan sebagainya.

Tanpa saya sadari, saya terenggut oleh cita-cita, keinginan –mungkin juga ketakutan terhadap masa depan dan jiwa sudah terdoktrin pendidikan dari kanak-kanak bahwa saya harus memikul beban harus menjadi ‘masyarakat idola’ penjaga benteng Negara bernama Indonesia ini. Tanpa saya sadari, dengan sistem sosial-budaya kita saat ini, kita diprogram menjadi android-android dahsyat yang ideal. Otot kawat balung wesi apapun caranya. Tanpa saya sadari sepenuhnya, saya ‘mengamini’ sistem yang membuat saya harus menjadi super tahu segalanya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Kompetisi kehebatan diam-diam mendesak ruang empati sanubari. Menutupi bahwa ada kebodohan mendasar di dalamnya.

Hakikat merdeka tercampakkan, terkurung oleh dan atas nama globalisasi. Modern adalah ‘dunia yang lebih baik’. Benarkah dengan mencabut hakekat kebebasan dari tempatnya, hidup ini kelak akan menjadi lebih baik?

Gatotkaca yang sekarang terbang di tembok menjadi simbol menuding dan menggugat persepsi saya. Nilai-nilai yang dianggap baik dan ideal, ternyata merupakan siksaan dan mungkin kutukan. Lebih jauh, hal itu seperti mempertanyakan sesuatu. Seolah-olah jika tidak menjadi yang terbaik, terjago, terpandai, terkaya, terkreatif, dan berbagai superlatif lainnya, maka kita menjadi ‘bukan apa-apa atau siapa-siapa’. Dan menjadi ‘bukan siapa-siapa’ adalah sebuah aib?

Superman jadi Sepurman. Akan bagaimanakah kita menyikapi persoalan kita sendiri, di tengah gelegak kerakusan jaman, disadari atau tidak kita ikut membentuknya?

Tentu kontrol berperan penting, namun jika diluar rumah-rumah -yang notabene memakan porsi lebih banyak ketimbang di dalam rumah- suasananya chaos, dan tidak kondusif, apakah kita bisa berharap banyak? (Sementara di dalam rumah pun, hegemoni televisi pun sedemikian besarnya memberikan impian semu )


Demi superlatif yang ingin kita lekatkan pada diri, seperti ‘Bima kepada Gathotkaca’, kita menyetujui mengambil ‘jalan pintas’ agar cepat menjadi ‘dewasa’ dan hebat. Kita lupa pada pentingnya perkembangan mental dan nurani, yang sebetulnya secara alamiah akan membentuk pribadi tidak hanya secara fisik. Kita sibuk menyediakan mal-mal dan meniadakan ruang terbuka publik. Atas nama kemandirian, kita membangun ekonomi jauh sama dengan di-luar negri, namun ironisnya, tak pernah mampu mengurai benang kusut PKL dan asongan di negeri sendiri. Atas nama kehidupan modern, kita pasang ‘kacamata kuda’ di mata kita agar mengagumi ‘seni-impor’,. Gatotkaca yang semula bercitra pahlawan, tiba-tiba berubah menjadi ‘tawanan’ di mata saya. Gatotkaca yang semula superman, terbalik menjadi ‘sepurman’ (yang hanya bisa melaju di atas ‘rel’ yang telah disediakan) Nah, jangan-jangan selama ini kita memang kurang bijaksana dalam segala hal. dan bukankah dengan meletakkan berbagai superlative di pundak kita maka mental kita menjadi rentan dan diam-diam ‘mati’ bunuh diri?

Tiba-tiba saya tidak ingin seperti Bima dan Gatotkaca. Bima gila dan Gathotkaca yang mati muda,

Gatotkaca,………………………………………………………………… kacian, deh kamu.