Rabu, 26 April 2017

KUKOMIKAN VERSUS #4

Versus Kukomikan kali ini mengangkat tema “Laut Setengah Mati”. Mendengar kata Laut dan Mati ingatan kita pasti merujuk pada salah satu titik tempat terendah di bumi dan paling asin di dunia. Terletak antara Israel, Palestina dan Yordania . Laut yang aslinya adalah danau. Terbentuk  oleh alam, retaknya sungai yordan membuat air laut masuk ke dalamnya. Tidak ada kehidupan di sana dan sejarah mencatatkan umat Luth di tenggelamkan dalam azabNYA.  Cerita mengapa dimusnahkannya  suatu kaum dan membuat dunia mengenangnya. Mereka kemudian menyebutnya Laut Mati /dead sea. Laut setengah Mati disini Kematian bisa dibaca lebih dari sebuah kejadian biasa tetapi adalah perumpamaan dan memakai laut sebagai tempat saja .Laut adalah samudra yang luas tanpa batas. Laut bagi bangsa maritim adalah kehidupan.
Sejak zaman pra sejarah,nenek moyang kita adalah masyarakat maritim. Secara geografis Nusantara yang menjadi cikal bakal Republik Indonesia adalah laut yang mengelilingi pulau hingga disebut negara kelautan dan kepulauan. Dua emporium kekuatan kerajaan Nusantara Sriwijaya dan Majapahit  bisa menjadi besar karena menguasai laut. Dengan menguasai laut dan tentu dengan militer yang kuat, dua kerajaan tersebut berhasil mengontrol seluruh perniagaan di seluruh Asia Tenggara. Datangnya pedagang Eropa pada abad 16 semakin membatasi gerak Nusantara dengan dunia maritimnya. Kapitalisme dan imperialisme mematikan kekuatan kerajaan kerajan Nusantara. Kolonialisme merubah persepsi akan aktivitas laut, Laut tidak bisa lagi menjadi tulang punggung , karena sudah dikuasai pihak kolonial. Dampak yang lain dari penjajahan adalah pemahaman konsep darat seperti yang ada di Eropa. Sejak saat itu, semua kehidupan termasuk laut menghadap ke utara (Eropa). Contohnya Selatan Jawa yang pada masa kerajaan Majapahit menjadi pelabuhan tersibuk, saat itu ditinggal dan menjadi daerah miskin hingga saat ini. Proses meninggalkan laut berlangsung hingga menjelang kemerdekaan. Munculnya Deklarasi Djuanda mengamankan aset laut indonesia dan Era sekarang Masalah kedaulatan laut kembali kencang di perbincangkan oleh pemerintahan Jokowi.
Gunungkidul dan Pacitan, tempat Firma, Dhidik dilahirkan. Terletak di pesisir selatan pulau jawa. Seperti masyarakat kawasan pesisir Gunungkidul dan Pacitan, kata laut harusnya bukanlah kosakata asing  bagi mereka. Berbicara tentang laut dan permasalahannya yang sangat luas. Firma dan Dhidhik mengamini itu. Sadar atau tidak mereka mengikuti perubahan pola itu dalam masyarakat di kawasan pesisir. Apalagi  sekitar tahun Tahun 2013 dimulailah pembangunan Jalur Lintas Selatan ( JLLS)  yang menghubungkan kawasan pesisir dari Jawa Barat samapai Jawa Timur. Dari Pangandaran, ,kulonprogo,Gunungkidul hingga Pacitan yang sampai saat ini masih di kerjakan.  Puluhan pantai berderet di kawasan ini, beberapa diantaranya adalah pantai yang baru dibuka. Aturan Jarak 100-500 meter dari kawasan pantai di buat Gubernur DIY. Berganti membelah Kars pegunungan sewu yang menyimpan mineral alam. Seperti pintu, Industri dan Pariwisata membukanya dan menyedot orang untuk berbondong bondong mendatanginya. Hal ini jelas membuat perubahan ekologi dan ekonomi bagi kawasan tersebut.  Siap atau tidak layar berkembang dan jangkar sudah ditarik. Kepercayaan dan budaya masyarakat harus bernegosiasi. Cerita dan legenda laut selatan berlahan menghilang. Lukisan Nyai Roro kidul menjadi hiasan hotel, dan beberapa Petilasan tempat semedhi dari pelarian Brawijaya adalah spot aman untuk selfie. Bahasa laut menjadi sexy bergulir pada pasir ombak dan bikini.
Bagaimana Keterpihakan dan cara pandang Firma dan Dhidhik dalam karyanya. Wisata pantai Gunungkidul adalah primadona barudi Yogyakarta, Firma Summa mengatakan bahwa era damai dan tenang kawasan laut selatan terusik, Pergaulannya dengan karang taruna dan pokdarwis kawasan pesisir membuatnya mengenal masalah pantai secara lebih. Dari beberapa aktivitas pendatang yang membuat  acara dipantai beberapa diantaranya bertolak belakang dari budaya masyarakat pesisir itu sendiri. Dari benturan itu membuat pola yang akhirnya justru menjauhkan laut dan pantai dari habitatnya. Sementara Dhidhik Dhanardono mengungkapakan lewat penjelajahan samudera, bangsa barat  mencuri  apa saja. Tidak hanya hasil bumi, ekonomi dan kemerdekaan . Catatan sejarah kita yang hilang pada saat  kolonial adalah bukti  nyata dari penjajahan budaya bangsa dan harusnya dikembalikan. Pacitan sendiri di gunakan sebagai jalur imigran gelap. Hal itu adalah petanyaan besar tentang kedaulatan dari sebuah kawasan besar maritim kita.
“Laut setengah mati”bisa di terjemahkan sebagai kondisi pesisir dan maritim kita dan bagaimana kita menyikapinya. Pembacaan ini menjadi menarik kalau melihat sejarah diatas karena sebenarnya kita sudah membuka laut dari (dulu). Kejayaan Nusantara lenyap seperti tertelan ombak dan terseret arus yang sangat kuat. Badai dan Tsunami yang menghantam tanpa sempat di antisipasi. Kita tidak lagi bernostalgia mencari jejak kejayaan maritim dalam pelabuhan di kawasan Nusantara tetapi membuat dermaga dan kapal menghadapi era globalisasi.  Semoga laut kita luas tetap jaya dan utuh hidup.


Ismu i