Versus Kukomikan kali ini
mengangkat tema “Laut Setengah Mati”. Mendengar kata Laut dan Mati ingatan kita
pasti merujuk pada salah satu titik tempat terendah di bumi dan paling asin di
dunia. Terletak antara Israel, Palestina dan Yordania . Laut yang aslinya
adalah danau. Terbentuk oleh alam,
retaknya sungai yordan membuat air laut masuk ke dalamnya. Tidak ada kehidupan
di sana dan sejarah mencatatkan umat Luth di tenggelamkan dalam azabNYA. Cerita mengapa dimusnahkannya suatu kaum dan membuat dunia mengenangnya.
Mereka kemudian menyebutnya Laut Mati /dead sea. Laut setengah Mati disini
Kematian bisa dibaca lebih dari sebuah kejadian biasa tetapi adalah perumpamaan
dan memakai laut sebagai tempat saja .Laut adalah samudra yang luas tanpa
batas. Laut bagi bangsa maritim adalah kehidupan.
Sejak zaman pra sejarah,nenek
moyang kita adalah masyarakat maritim. Secara geografis Nusantara yang menjadi
cikal bakal Republik Indonesia adalah laut yang mengelilingi pulau hingga
disebut negara kelautan dan kepulauan. Dua emporium kekuatan kerajaan Nusantara
Sriwijaya dan Majapahit bisa menjadi
besar karena menguasai laut. Dengan menguasai laut dan tentu dengan militer
yang kuat, dua kerajaan tersebut berhasil mengontrol seluruh perniagaan di
seluruh Asia Tenggara. Datangnya pedagang Eropa pada abad 16 semakin membatasi
gerak Nusantara dengan dunia maritimnya. Kapitalisme dan imperialisme mematikan
kekuatan kerajaan kerajan Nusantara. Kolonialisme merubah persepsi akan
aktivitas laut, Laut tidak bisa lagi menjadi tulang punggung , karena sudah
dikuasai pihak kolonial. Dampak yang lain dari penjajahan adalah pemahaman
konsep darat seperti yang ada di Eropa.
Sejak saat itu, semua kehidupan termasuk laut menghadap ke utara (Eropa).
Contohnya Selatan Jawa yang pada masa kerajaan Majapahit menjadi pelabuhan
tersibuk, saat itu ditinggal dan menjadi daerah miskin hingga saat ini. Proses
meninggalkan laut berlangsung hingga menjelang kemerdekaan. Munculnya Deklarasi
Djuanda mengamankan aset laut indonesia dan Era sekarang Masalah kedaulatan
laut kembali kencang di perbincangkan oleh pemerintahan Jokowi.
Gunungkidul dan Pacitan, tempat
Firma, Dhidik dilahirkan. Terletak di pesisir selatan pulau jawa. Seperti
masyarakat kawasan pesisir Gunungkidul dan Pacitan, kata laut harusnya bukanlah
kosakata asing bagi mereka. Berbicara
tentang laut dan permasalahannya yang sangat luas. Firma dan Dhidhik mengamini
itu. Sadar atau tidak mereka mengikuti perubahan pola itu dalam masyarakat di
kawasan pesisir. Apalagi sekitar tahun
Tahun 2013 dimulailah pembangunan Jalur Lintas Selatan ( JLLS) yang menghubungkan kawasan pesisir dari Jawa
Barat samapai Jawa Timur. Dari Pangandaran, ,kulonprogo,Gunungkidul hingga
Pacitan yang sampai saat ini masih di kerjakan.
Puluhan pantai berderet di kawasan ini, beberapa diantaranya adalah
pantai yang baru dibuka. Aturan Jarak 100-500 meter dari kawasan pantai di buat
Gubernur DIY. Berganti membelah Kars pegunungan sewu yang menyimpan mineral
alam. Seperti pintu, Industri dan Pariwisata membukanya dan menyedot orang
untuk berbondong bondong mendatanginya. Hal ini jelas membuat perubahan ekologi
dan ekonomi bagi kawasan tersebut. Siap
atau tidak layar berkembang dan jangkar sudah ditarik. Kepercayaan dan budaya
masyarakat harus bernegosiasi. Cerita dan legenda laut selatan berlahan
menghilang. Lukisan Nyai Roro kidul menjadi hiasan hotel, dan beberapa
Petilasan tempat semedhi dari pelarian Brawijaya adalah spot aman untuk selfie.
Bahasa laut menjadi sexy bergulir pada pasir ombak dan bikini.
Bagaimana Keterpihakan dan cara
pandang Firma dan Dhidhik dalam karyanya. Wisata pantai Gunungkidul adalah
primadona barudi Yogyakarta, Firma Summa mengatakan bahwa era damai dan tenang
kawasan laut selatan terusik, Pergaulannya dengan karang taruna dan pokdarwis
kawasan pesisir membuatnya mengenal masalah pantai secara lebih. Dari beberapa
aktivitas pendatang yang membuat acara
dipantai beberapa diantaranya bertolak belakang dari budaya masyarakat pesisir
itu sendiri. Dari benturan itu membuat pola yang akhirnya justru menjauhkan laut
dan pantai dari habitatnya. Sementara Dhidhik Dhanardono mengungkapakan lewat
penjelajahan samudera, bangsa barat
mencuri apa saja. Tidak hanya
hasil bumi, ekonomi dan kemerdekaan . Catatan sejarah kita yang hilang pada
saat kolonial adalah bukti nyata dari penjajahan budaya bangsa dan
harusnya dikembalikan. Pacitan sendiri di gunakan sebagai jalur imigran gelap.
Hal itu adalah petanyaan besar tentang kedaulatan dari sebuah kawasan besar
maritim kita.
“Laut setengah mati”bisa di
terjemahkan sebagai kondisi pesisir dan maritim kita dan bagaimana kita
menyikapinya. Pembacaan ini menjadi
menarik kalau melihat sejarah diatas karena sebenarnya kita sudah membuka laut
dari (dulu). Kejayaan Nusantara lenyap seperti tertelan ombak dan terseret arus
yang sangat kuat. Badai dan Tsunami yang menghantam tanpa sempat di antisipasi.
Kita tidak lagi bernostalgia mencari jejak kejayaan maritim dalam pelabuhan di
kawasan Nusantara tetapi membuat dermaga dan kapal menghadapi era globalisasi. Semoga laut kita luas tetap jaya dan utuh hidup.
Ismu i